Kehilangan Cita Rasa

Sumber: dokumen pribadi, jeruknya beli sendiri, digambar sendiri juga :P

“Seperti masakan, ini tuh udah kehilangan cita rasa.”

Tiba-tiba saja kalimat itu terlintas di benak saya. Sekelumit persoalan hidup yang seharusnya bisa dibuat mudah dan menyenangkan, kini mengerak menjadi nasi basi yang harus dihangatkan kembali. Padahal orang-orang sudah memakan dan menikmati nasi mereka selagi hangat.

Penuh kiasan memang. Ah ya, hidup saya memang menjadi penuh kiasan dan olok-olok diri sendiri terhadap diri sendiri. Mungkin jalurnya sudah melenceng terlalu jauh dari pakem, atau mungkin memang sudah melewati batas kearifan diri.

Orang-orang yang dulu bersama memapah dan menapaki jalan setapak di pegunungan ini sudah mulai menemukan pos mereka masing-masing untuk menikmati tiap pemandangan yang tersedia dari “spot-spot” yang mereka pilih.

Sedangkan saya? Jangan ditanya. Jangan.

Saya masih maju mundur di tempat yang seharusnya sudah saya tinggalkan jauh hari bersama mereka. Saya masih mempertahankan ego dan masih belum bisa menerima langkah-langkah mereka yang begitu tegap, tegas dan tak gentar. Hingga akhirnya mereka bisa menempati puncak mereka masing-masing.

Sekilas anda sudah tahu bukan, ini salah siapa? Tentu saja ini salah saya sendiri.

“Ketika kamu memilih untuk lebih lambat melangkah dibandingkan mereka, jangan pernah mengeluh dan menangis,  karena itu adalah keputusan yang kau pilih sendiri untuk memapah tertatih dalam perjalananmu.”

Lagi-lagi sebuah kalimat membumbung di atas kepala saya.

“Dan nikmati kegetirannya. Hahaha...” lanjut isi kepala yang terus mengolok-olok saya.

-orektempe140123-


Ini tulisan di atas meaningless ya? Maafkan! Sebelum Januari berakhir dengan sia-sia, saya hanya ingin mengisi blog yang sudah terlantar ini. Biarkan tulisan ini seabstrak yang dia mau. Saya masih memikirkan baiknya menuliskan tema-tema apa untuk mengisi blog selanjutnya. Semoga nanti lebih bermanfaat. Selamat berjuang, hai pemuda! :)
Penasaran ->

Doger Monyet

Doger Monyet Islami (sumber: dok. pribadi)
Bismillahirrahmanirrahiim..

Ada yang tahu doger monyet? Itu loh sebuah aktraksi monyet yang dipadu-padankan dengan tabuhan yang riuh rendah serta berbagai tingkah lucu, menggemaskan –mungkin ada yang merasa mengerikan, lebih tepatnya- dan brutal dari monyet yang diperintahkan oleh sang majikan.

Di sepanjang jalan menuju Tanjung Sari, Kabupaten Sumedang, berjajar para tukang doger monyet. Mungkin tiap 100 meter ada seekor monyet sedang mengais rezeki. Ada monyet yang mungil, besar, bahkan mungkin ada yang masih kanak-kanak maupun lanjut usia. Dan pemandangan yang tidak aneh pula bagi kalian yang sering lewat perempatan Buah Batu, di sana sering ada tabuhan doger monyet yang khas di antara padatnya traffic jam.

Kemarin pagi, tiba-tiba saja di depan rumah ada ribut-ribut, riuh sekali dengan tabuhan khas yang mengecup telinga dengan kasarnya. Ternyata ada atraksi doger monyet. Sontak saya pun berlari keluar, bagai anak kecil yang mengendap-ngendap dan penasaran melihat doger monyet dari lantai atas rumah. Ketawa renyah dan gurih dibuatnya. Entah, kocak saja melihatnya.

Pertama, sang monyet diberikan sajadah, kemudian ia sholat. Saya pikir mungkin dia sedang sholat dhuha. Ya ampun, ada-ada saja. Kemudian ia diberikan kursi, lalu monyet itu duduk ongkang kaki dengan memakai kaca mata dan memegang HP layak eksekutif muda. Ya ampun, terpingkal saya dibuatnya. Kebetulan rombongan doger monyet itu ada 4 orang dan 1 monyet yang terdiri dari; 2 orang penabuh; 1 orang pawang; 1 orang yang berkeliling meminta sedikit belas kasihan dengan recehan.

Kemudian sang pawang memberikan monyet itu sepeda kecil. Ditariklah sepeda itu sampai “tanjakan” (kebetulan rumah saya berada di areal tanjakan) kemudian setelah sampai dipuncak, sang pawang melepaskan tali yang ia pegang di leher monyet. Swiiiiing, meluncurlah dengan kecepatan 40 km/jam dari atas tanjakan sampai bawah kemudian digowes sampai warung di ujung jalan. Layaknya atlet Olimpiade sepeda. Anak-anak dan ibu-ibu yang melihat pertunjukan pun sorak sorai. Saya lantas tertawa tanpa henti seraya berdecak kagum. Hebat, Nyet!

Ini adalah hiburan, hiburan rakyat biasa seperti kami. Bisa dibilang ini merupakan bentuk “ngamen” atau mini sirkus hewan keliling dalam bentuk  simply perform. Terkadang, saya berpikir “Dapat berapa ya sekali ngamen doger monyet?”. Dengan 5 personil (4 orang dan 1 monyet) apakah cukup untuk dijadikan sebuah mata pencaharian? Tentu saja tidak, namun himpitan ekonomi dan kerasnya dunia zaman sekarang apapun pasti dilakukan asal halal dan tidak mengemis dengan cuma-cuma.

Selain itu, saya selalu berpikir dan merasa kasihan terhadap monyet-monyet tersebut. Apakah penghidupan mereka layak? Diberi makan apa mereka? Ditempatkan dimana mereka? Sebenarnya mereka mahluk bebas, tanpa dijejali fasilitas seperti manusia pun mereka bisa tetap hidup, namun saat mereka berada di lingkungan manusia mau tidak mau naluri hewani mereka perlahan-lahan terkikis dan bergantung pada manusia yang memeliharanya.

Jika kita menilik Kebun Binatang, sudah barang tentu jaminan pemeliharaan yang baik terhadap hewan-hewan yang ada di sana harus diperhatikan. Namun, ini doger monyet loh, mini sirkus, mini perform. Kondisi monyet bahkan pawangnya sekilas saja sudah memprihatinkan. Semacam eksploitasi terhadap hewan namanya. Kasihan monyet-monyet itu. Ya, diantara gelak tawa dan riuh rendah suara kagum kita ada jerit hewan-hewan yang menginginkan kebebasan. Menginginkan mereka bisa menjadi hewan layaknya di hutan belantara. Tanpa polusi manusia.

Pada akhirnya, semoga lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang perlindungan hewan-hewan maupun pelestarian alam bisa lebih concern terhadap hal seperti ini. Di samping menyelamatkan ikan hiu dari kepunahan dan pemangsaan manusia, tidak ada salahnya mengkaji ulang para awak doger monyet ini. Kalau bisa mungkin disediakan suatu perkumpulan para doger monyet mungkin, yang tiap bulannya dievaluasi dan diberikan pendidikan merawat hewan-hewan itu. Jadinya seperti win-win solution. Tanpa harus ada yang merasa terampas mata pencahariannya dan tanpa ada yang harus terampas kebebasan hewani-nya juga hiburan rakyat murah meriah tetap ada dengan tidak melalaikan norma-norma kehewanan.

Merdeka! Salam doger :)
Penasaran ->

Etika Berkomentar di Blog

Etika Berkomentar di Blog (sumber)
Bismillahirrahmanirrahiim..

Pagi hari ini tumben-tumben saya sudah cek blog, ternyata ada satu komentar "mejeng" di salah satu postingan saya. Isinya cuma "nice post, visit back", rasanya kurang sreg gimana gitu. Ini memang bukan kali pertama saya mendapatkan komentar semacam itu di blog. Malah ada beberapa yang meninggalkan link, berkomentar kesana kemari padahal tak ada sangkut paut dengan isi postingannya, dan banyak macam lainnya. Rasanya saya suka "iri" dengan blogger yang ramai komentar bermutu di postingan mereka. Halaaah.. Meski memang postingan blog saya tak bagus-bagus amat.

Akhirnya, saya tumpahkan kekesalan ini di twitter dengan menuliskan sebuah tweet "Blogger yang cuma bisa komentar "nice post, visit me back" di postingan kita itu rasanya tak bisa menghargai isi dari apa yang kita tulis. #gumam". Ternyata tweet saya disambar oleh Kak Tia yang sepertinya memang mempunyai permasalahan sama dalam hal menyikapi etika berkomentar di blog. Tak lama kemudian, isi percakapan tweet kami dipantau oleh Kang Budi. Maka, jadilah diskusi kecil tentang etika berkomentar di blog.

Mungkin ada yang berpikir, kalau kita bermasalah dengan isi komentar blog lebih baik kita buat kolom komentarnya dimoderasi dan diberi option captcha. Namun, untuk blogger semacam saya yang kurang menyukai keribetan dalam meninggalkan komentar maka saya tak akan membuat kolom komentar diproteksi sedemikian rupa. Biarlah menjadi inisiatif baik dari blogger masing-masing dalam meninggalkan jejak di blog saya dengan etikanya.

Etika dalam berkomentar di blog itu memang sangat perlu. Ini beberapa poin penting yang saya rangkum dari diskusi saya bersama Kak Tia dan Kang Budi serta pengalaman pribadi, yaitu:
  1. Jangan hanya meninggalkan komentar berupa: "pertamax gan, nice post, visit me back, follow me back, ditunggu kunjungan baliknya gan" dan semacamnya.
  2. Jangan berkomentar dengan menyinggung SARA (suku, ras, agama dan antar golongan).
  3. Jangan sekali-kali meninggalkan link di kolom komentar. Kecuali jika link tersebut untuk memberitahukan award atau ajakan mengikuti kontes tapi dibarengi dengan pemberitahuan terhadap si empu blog tersebut.
  4. Ada baiknya, berkomentar sesuai dengan isi postingan yang ditulis pemilik blog. Maka bacalah postingan blognya dengan baik. Jangan asal menyahut.
  5. Komentar yang sangat diharapkan adalah yang bisa menjadikan feedback bagi tulisan pemilik blog.
  6. Tulislah dengan kata-kata serta tulisan yang baik dan benar sesuai dengan etika dan norma kesopanan.
  7. Ramahlah terhadap sang pemilik blog, karena ini bisa menjadi modal utama untuk menjalin pertemanan dengan blogger lain.
  8. Jika ingin meminta follow back dari pemilik blog biarkan itu menjadi inisiatif baik dari si empu-nya. Jangan ada paksa memaksa, kecuali sudah ada kesepakatan antara kedua blogger.
  9. Jangan merusuh saat berkomentar. Biarkan ruang diskusi berjalan sesuai kaidah etika berkomantar.
  10. Jumlah follower dan rating blog bukan tujuan utama kecuali kalau kalian memang mengejar SEO (ini diluar dari bahasan saya, karena saya tidak paham soal itu, hehehe..)

Mungkin ini hanya sebagian kecil dari etika yang harus kita lakukan saat berkomentar di blog orang lain. Masih banyak yang belum saya sampaikan. Jika ada yang mau menambahkan, saya sangat menerima masukan dari kawan-kawan blogger.

Pada intinya, kesenangan dalam blog itu adalah ketika kita membaca postingan blogger lain, menambah pengetahuan kita dan bisa ikut memberi feedback baik dalam tulisannya, itulah indahnya berkawan di blog. Semua seperti alur lingkaran, tak pernah putus begitu saja ilmunya.
Penasaran ->

Galau Damri

Damri, kurang lebih seperti ini wujud usangnya. Sumber
Bismillahirrahmanirrahiim..
"Menghabiskan perjalanan bersama sang kebisuan. Meski derit gesekan besi usang dan riuh rendah penumpang lain ramai bersahutan. Di sini, sepi."
Beberapa hari yang lalu, tepatnya tanggal 5 April kemarin, ketika saya pulang dari Gramedia Merdeka banyak kejadian galau hingga akhirnya saya sebut hari galau damri seumur hidup (lebay). Sekitar pukul 15.30 WIB saya pun mensegerakan untuk pulang. Dari jalan Merdeka sampai Cileunyi memang sangat jauh jaraknya. Pada waktu itu saya hanya ingat kalau pulang harus dapat Damri di Kebon Kalapa. Akhirnya saya naik angkot jurusan Dago - Kalapa sampai di Kebon Kalapa. Meskipun pada akhirnya saya baru ingat kalau ada alternatif jalur angkutan yang lain.

Setelah angkot yang saya tumpangi hampir dekat ke terminal Kebon Kalapa, saya pun siap-siap segera turun, namun lagi-lagi saya lupa kalau dia tidak berhenti di dekat shelter Damri. Alhasil saya pun harus jalan kaki agak jauh untuk sampai di shelter. Tak apa, olah raga, lumayan.

Saat sampai di shelter, ternyata Damri yang siap berangkat itu Damri yang belum diremajakan alias usang. Tak apa, asal selamat sampai tujuan. Akhirnya saya sigap menaiki Damri tersebut. Masih belum penuh penumpang, tapi penuh sampah berceceran di lantainya. Ok, tak apa, nikmati saja Irma. Lalu saya mengambil kursi di baris kedua dekat pintu.

Tak menunggu lama akhirnya sang Damri pun berangkat. Ini Damri memang benar-benar sudah tua, besi-besinya pun sudah usang, karat dimana-mana, suara mesin berderu memekakan telinga. Jangan ditanya bagaimana stir dan dashboard-nya. Sepertinya ini Damri sisa-sisa jaman kolonial. Ongkosnya memang murah hanya Rp. 4000 dari Kebon Kalapa sampai Tanjung Sari. Bagaimana tak menjadi primadona khalayak ramai? Transportasi massal yang melewati 1 kota dan 2 kabupaten ini memang layak diminati. Namun, sudah tak layak pakai! Bagaimana atuh Perum Damri?

Hari itu, kegalauan saya belum berakhir. Sore merupakan waktu untuk terjebak macet di tengah-tengah kota Bandung. Kecepatan Damri yang bisa dihitung dengan jari pun menambah panjang lama perjalanan. Tak apa, toh saya tak sedang ditunggu siapa-siapa. Kalau kata orang Sunda "ditampi kalayan kabingahan". Damri memang transportasi yang tak kalah maruk dalam hal menampung penumpang. Mau duduk, mau dempetan, mau berdiri, mau gelantungan pun asalkan masih bisa masuk, ayo angkut.

Akhirnya, Damri yang sudah terjebak di antara ratusan kendaraan itu pun penuh sesak dengan cepatnya. Riuh rendah para penumpang yang duduk bersama keluarga, sahabat atau tetangganya pun bersahutan bersama suara deru mesin dan rintihan besi tua yang bergesekan. Saya, menikmati perjalanan ini bersama sepi yang terasa (ngeneeeeeees... hahahahaa..). Tak lama kemudian datanglah pengamen, ok tak apa asalkan suaranya bagus, nyanyinya ok, bisa saya nikmati. Tapi dugaan saya salah! Masalah lagu tak saya permasalahkan, namun suara yang disenandungkan benar-benar sudah membuat batas kegalauan saya menjadi beribu kali lipat hingga tak bisa saya pungkiri bahwa saya memang sakit kepala. Nada kemana, suara kemana, lirik kemana, lafalnya kemana. Ngenesnya lagi, dia bernyanyi 4 lagu.

Hari itu, galau damri saya perfecto! Berhasil mengantarkan saya dari jalan Merdeka sampai Cileunyi dengan ditutup sebuah seruan kondektur "Ibu, turun dimana?" Ok, se-ibu-ibu-kah tampang saya? Rasanya ingin langsung lompat dari Damri, kemudian berenang bersama paus antartika. Galau Damri, galau segalau-galaunya. Bagaimana dengan pengalaman menarik kawan blogger jika menggunakan transportasi publik? Share yuk!
Penasaran ->

up